Antara Kopi dan Cangkir
Sekelompok alumni sebuah universitas
mengadakan reuni di rumah salah
seorang professor favorit mereka yang dianggap
paling bijak dan layak didengarkan.
Satu jam pertama, seperti umumnya diskusi di acara reuni,
diisi dengan menceritakan (baca : membanggakan) prestasi di tempat
kerja masing-masing.
Adu prestasi, adu posisi dan adu gengsi, tentunya
pada akhirnya bermuara pada $ yang mereka punya dan kelola,
mewarnai acara kangen-kangenan ini.
Jam kedua mulai muncul guratan dahi
yang menampilkan keadaan sebenarnya.
Hampir semua yang hadir sedang stres karena sebenarnya
pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi,
keluarga dan situasi hati mereka
tak secerah apa yang mereka miliki dan duduki.
Bahwa dollar mengalir deras,
adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang
mereka kendarai serta merk baju dan
jam tangan yang mereka pakai.
Namun di lain pihak,
mereka sebenarnya sedang dirundung masalah berat,
yakni kehilangan makna hidup.
Di satu sisi mereka sukses meraih kekayaan,
di sisi lain mereka miskin dalam menikmati hidup dan
kehidupan itu sendiri. They have money but not life.
Sang profesor mendengarkan celotehan mereka
sambil menyiapkan seteko kopi hangat dan seperangkat cangkir.
Ada yang terbuat dari kristal yang mahal,
ada yang dari keramik asli Cina oleh-oleh salah seorang
dari mereka, dan ada pula gelas plastik murahan untuk perlangkapann
perkemahan sederhana. "Serve yourself," kata profesor,
memecah kegerahan suasana.
Semua mengambil cangkir dan kopi tanpa menyadari
bahwa sang profesor sedang melakukan kajian
akademik pengamatan perilaku, seperti layaknya seorang profesor
yang senantiasa memiliki
arti dan makna dalam setiap tindakannya.
"Jika engkau perhatikan, kalian semua mengambil
cangkir yang paling mahal dan indah.
Yang tertinggal hanya yang tampaknya kurang bagus dan murahan.
Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah
sangat normal dan wajar.
Namun, tahukah kalian bahwa inilah yang
menyebabkan kalian stres dan tidak dapat menikmati hidup?"
sang profesor memulai wejangannya.
"Now consider this :
life is the coffee,
and the jobs, money and position in society are the cups.
They are just tools to hold and contain life,
and do not change the quality of life.
Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy
the coffee provided,"
kali ini kalimatnya mulai menekan hati.
"So, don't let the cups drive you,
enjoy the coffee instead," demikian ia
berkata sambil mempersilakan mereka menikmati kopi bersama.
Sewaktu membaca email yang dikirim rekan saya Ucup,
begitu panggilan akrabnya, saya ikut tertegun.
Sesederhana itu rupanya. Profesor yang
bijak selalu membuat yang sulit jadi mudah,
sedangkan politikus selalu
membuat yang mudah jadi sulit.
Betapa banyak diantara kita yang salah
mensiasati hidup ini dengan memutarbalikkan kopi dan cangkir.
Tak jelas apa yang ingin kita nikmati,
kopi yang enak atau cangkir yang cantik.
Ada tiga tipe pekerja (baca profesional dan pengusaha)
yang sering kita lihat dalam mensiasati kopi
dan cangkir kehidupann ini.
Pertama, pekerja yang sibuk mengejar pekerjaan,
jabatan yang akkhirnya hanya bertumpu pada kepemilikan
jumlah dan kualitas cangkir kehidupan.
Paradigmanya sangat sederhana,
semakin banyak cangkir yang dipunyai,
semakin bercahaya.
Semakin bagus cangkir yang dimiliki akan merubah
rasa kopi menjadi enak.
Fokus hidup hanya untuk menghasilkan kualitas
dan kuantitas cangkir.
Ini yang menyebabkan terus terjadinya
persaingan untuk menambah kepemilikan.
Sukses diukur dengan seberapa banyak dan seberapa bagus
apa yang dimiliki. Kala yang lain bisa membeli mobil mewah,
ia pun terpacu mendapatkannya.
Alhasil, tingkat stres menjadi sangat tinggi
dan tak ada waktu untuk membenahi kopi.
Semua upaya hanya untuk bagian luar,
sedangkan bagian dalam semakin ketinggalan.
Kedua, pekerja yang menyadari bahwa kopinya ternyata pahit
artinya hidup yang terasa hambar;
penuh kepahitan, dengki dan dendam; serta
tak ada damai dan kebahagiaan - mencoba menutupnya dengan
menyajikannya dalam cangkir yang lebih mahal lagi.
Pikirannya juga sangat mudah,
kopi yang tidak enak akan berkurang rasa tidak enaknya
dengan cangkir yang mahal.
Rasa kurang dicintai rekan kerja,
dikompensasi dengan mengadopsi anak asuh dan angkat.
Tak merasa diperhatikan,
dibungkus dengan memberikan perhatian pada korban gempa
di Yogyakarta. Tak menghiraukan lingkungan hidup,
ditutup halus dengan program environmental development
yang harus diresmikan pejabat
Kementerian Lingkungan Hidup.
Tak memperhatikan orang lain dengan tulus,
dibalut dengan program community development yang wah.
Kalau tidak hati-hati,
akan muncul pengusaha kaum Farisi yang munafik bagai
kubur bersih,
tapi di dalamnya sebenarnya tulang tengkorak yang jelek dan bau.
Ketiga, ada pula pekerja yang berkonsentrasi
membenahi kopinya agar lebih enak,
semakin enak dan menjadi sangat enak.
Tipe ini tidak terlalu pusing dengan penampilan cangkir.
Pakaian mahal dan eksklusif tidak mampu membuat borok jadi sembuh.
Makanan yang mahal tidak selalu
membuat tubuh jadi sehat,
malah yang terjadi acap sebaliknya.
Fokus pada kehidupan dan hidup menyebabkan
dia dapat santai menghadapi hari-hari yang keras.
Ia tak mau berkompromi dengan pekerjaan yang
merusak martabat, sikap dan kebiasaan.
Menyuap yang terus menerus dilakukan hanya akan membuat
dirinya tak mudah bersalah kala disuap.
Fokus pada kopi yang enak,
membuat ia tak mudah menyerah pada tuntutan pekerjaan,
tekanan target penjualan yang mengontaminasi karakternya.
Baginya, ini adalah kebodohan yang tak pernah dapat dipulihkan.
Profesor hidup lain pernah berpetuah,
"Take no thought for your life,
what you shall eat or drink, nor your body what you shall put on.
Is not the life more that meat
and the body than raiment?"
Kalau kita tidak sadar,
kita bakal terjerembap : mengkhawatirkann cangkir
padahal seharusnya kita fokus pada kopi.
Enjoy your coffee, my friend!
No comments:
Post a Comment