Pada suatu hari aku bersimpuh di
pelataran Masjid Al-Haram sambil menikmati munajat kepada Allah,” demikian
Syaikh aidh al-Qarni mengajak kita berselancar dengan kisah-kisahnya dalam
karya monumental, La Tahzan
Kota Makkah sedang dipanggang
oleh terik matahari. Kira-kira waktu Dzuhur masih tersisa satu jam lagi.
Tiba-tiba seorang laki-laki tua melintas dihadapanku. Kedua tangannya memegang
gelas-gelas berisikan air Zam-zam. Tampak jemari keriput itu menggenggam erat.
Seolah ingin memastikan, tak ada air yang tumpah dari wadah yang berbahan
plastik itu.
Dengan santun, ia lalu
menghampiri setiap manusia yang ada di sekililingnya. Menawarkan seteguk air
Zam-zam segar di siang hari yang terik. Demikian seterusnya, pria sepuh itu tak
henti membasuh leher-leher tamu Baitullah dengan air Zam-zam. Sontak
orang-orang di sekitarnya ikut menatap perbuatan orang itu. Seolah ikut
menunggu, kapan kemuliaan itu datang menghampiri mereka, meneguk air Zam-zam
yang mulia dari sodoran laki-laki berhati mulia itu.
Tak jauh darinya, aku hanya bisa membatin,”
aidh al-Qarni meneruskan ceritanya.
“Aku terpana menyaksikan
tersenyum ketika menawarkan segelas air Zam-zam. Terlebih melihat senyum itu
kembali mengembang lebar kala orang-orang berterima kasih kepadanya. Mahasuci
Allah yang telah melapangkan hati seseorang dalam berbuat kebaikan. Sebab potensi
dan ladang kebaikan itu ada bertebar di sekeliling kita semua. Cuma terkadang
hati ini yang telah lusuh. Ia kabur bersebab noda pekat. Seolah tak lagi
mengenal kebaikan-kebaikan yang ditawarkan.”
No comments:
Post a Comment