Oleh Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Di atas lantai yang sudah beberapa waktu tidak dibersihkan, terdapat secuil roti yang diperebutkan oleh semut. Secara tidak sengaja, saya melihat apa yang dilakukan oleh sejumlah binatang kecil yang menyukai gula itu. Mereka menggotong secuil roti itu ke sana kemari, tanpa arah jelas. Suatu saat, roti itu ditarik-tarik ke suatu arah, namun sebentar lagi ditarik ke arah yang berlawanan. Begitu seterusnya, roti berjalan ke sana ke mari dibawa oleh semut yang tidak terkoordinasi itu.
Melihat semut-semut membawa roti yang tidak terarah dan tidak terkoordinasi itu, menjadikan saya teringat pada system domokrasi yang selama ini dianggap baik dan harus diterapkan dalam kehidupan bersama. Demokrasi dianggap baik oleh karena system itu memberikan peluang kepada seluruh rakyat untuk menentukan nasipnya sendiri, tanpa terkecuali. Dalam demokrasi semua persoalan public diputuskan secara bersama, apapaun hasilnya.
Semut-semut tersebut, jenis dan ukurannya sama, sehingga kekuatannya juga sama. Umpama ketika itu terdapat beberapa yang berukuran besar dan lebih kuat dari lainnya, sehingga memiliki kekuatan penentu, maka yang besar itu akan mengarahkan kemana roti itu akan dibawa, misalnya ke sarang semut untuk selanjutnya dikonsumsi bersama-sama. Namun oleh karena ukuran binatang itu sama, maka tidak ada satu semutpun yang berkuasa mengendalikannya, hingga gerakan itu tidak jelas yang dituju.
Gambaran tentang demokrasi, saya rasakan mirip dengan semut-semut yang membawa sepotong roti tersebut. Dalam berdemokrasi, semua rakyat diberi peluang ikut ambil bagian dalam menentukan kebijakan bersama. Saya menyebut mirip, dan bukan sama, oleh karena antara keduanya masih bisa dibedakan. Dalam berdemokrasi terdapat mekanisme dalam mengambil keputusan, yaitu melalui musyawarah atau voting. Dalam musyawarah itu hak-hak semua anggota dihargai sama.
Namun dalam prakteknya, memang berdemokrasi selalu saja yang dimenangkan adalah pendapat mayoritas dari partai politik yang ada. Partai mayoritas selalu memenangkan dalam mengambil keputusan. Itulah sebabnya, tatkala mayoritas dianggap belum tentu mendominasi keputusan strategis, maka dibentuki koalisi antar partai politik. Dalam gambaran seperti itu, sekalipun keputusan ditempuh dengan cara bermusyawarah, tetapi toh akhirnya juga mirip semut tatkala menggotong secuil roti sebagaimana digambarkan di muka.
Sekumpulan semut yang sama-sama bekerja, ----bukan bekerja bersama, tatkala membawa secuil roti tersebut memang tidak menggunakan musyawarah. Bagi semua semut, yang penting adalah bekerja untuk menarik makanan itu. Sementara semut menarik ke kanan dan selainnya menarik ke kiri. Sepotong roti yang digotong bersama itu akhirnya bergerak ke arah kekuatan semut yang paling kuat. Umpama semut-semut itu bermusyawarah, dan berhasil mengikuti saja semut yang paling pintar atau cerdas, maka secuil roti tersebut akan dibawa ke arah sarang, sesuai petunjuk semut yang cerdas itu. Sayangnya tidak terdapat semut cerdas dan apalagi bijak.
Hidup berdemoikrasi sekalipun dianggap baik dan menyenangkan banyak orang, ternyata juga beresiko, yaitu implementasinya menjadi berat dan memerlukan waktu lama untuk sampai pada tujuan. Umpama dalam berdemokrasi itu, tatkala mengambil keputusan, mereka menyerahkan kepada ahlinya, maka dalam menyelesaikan persoalan tidak menyerupai semut tatkala menggotong secuil roti tersebut. Persoalan ekonomi, maka diserahgkan kepada ahli ekonomi, persoalan kesehatan diserahkan kepada ahli kesehatan dan seterusnya. Wakil-wakil rakyat yang telah dipilih bertugas menyampaikan aspirasi rakyat. Semua eputusan yang bersifat strategis tetap diserahkan kepada ahlinya.
Apa yang sedang terjadi di negeri ini, ternyata belum menggambarkan keadaan seperti itu. Rakyat memilih wakilnya dan bahkan juga pimpinannya. Para wakil rakyat dan bahkan juga pemimpinnya dipilih secara langsung. Pilihan itu tidak selalu tepat, sebab dalam berpolitik, pilihan itu tidak selalu dijatuhkan pada mereka yang ahli atau kompeten. Tidak jarang pilihan pemimpin itu jatuh pada siapa saja yang memiliki uang. Akhirnya tatkala mengambil keputusan, tidak selalu mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan tidak mustahil diorientasikan untuk mengembalikan dana yang telah dibayarkan sebelumnya oleh sang pengambil keputusan itu.
Jika hal itu benar-benar terjadi, maka menjadi wajar jika bangsa yang besar ini memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuannya. Sebab dengan model demokrasi seperti itu, maka jalan yang ditempuh untuk memakmurkan rakyat tidak selalu terarah dan lurus. Hal itu mirip semut ketika menggotong secuil roti dalam cerita di muka. Bahkan cara kerja semut tersebut, ------bisa jadi, lebih cepat sampai pada tujuan, karena semut tidak aneh-aneh, misalnya cari untungnya sendiri. Hal itu berbeda dengan demokrasi masyarakat manusia, ada saja pihak-pihak yang masih harus bernegosiasi, berkalkulasi, dan bertransaksi, agar bisa pengembalian biaya politik yang telah dibelanjakan sebelumnya. Sekalipun dianggap baik, demokrasi tidak selalu mudah dijalankan, dan apalagi orang biasanya lebih nakal dibanding semut. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment