Tuesday, March 13, 2012

Secuil Roti, Semut, dan Demokrasi


Oleh Prof. Dr. H. Imam Suprayogo

Di atas lantai yang sudah  beberapa waktu tidak dibersihkan,  terdapat secuil roti yang diperebutkan oleh semut.  Secara tidak sengaja, saya melihat apa yang dilakukan oleh sejumlah binatang kecil yang menyukai gula itu. Mereka menggotong secuil roti itu ke sana kemari, tanpa arah jelas. Suatu saat, roti itu ditarik-tarik ke suatu arah, namun sebentar lagi ditarik ke arah yang berlawanan. Begitu seterusnya, roti berjalan ke sana ke mari dibawa oleh semut yang tidak terkoordinasi itu.   
Melihat semut-semut membawa roti yang tidak terarah dan tidak terkoordinasi itu, menjadikan saya teringat  pada  system domokrasi yang  selama ini dianggap baik dan harus diterapkan dalam kehidupan bersama. Demokrasi dianggap baik oleh karena system itu  memberikan peluang kepada seluruh rakyat untuk menentukan nasipnya sendiri, tanpa terkecuali.  Dalam demokrasi semua persoalan public diputuskan secara bersama, apapaun hasilnya.  

Semut-semut tersebut,  jenis dan ukurannya sama, sehingga kekuatannya juga sama. Umpama ketika itu terdapat beberapa  yang berukuran besar dan lebih kuat dari lainnya, sehingga memiliki kekuatan penentu,  maka yang besar itu akan mengarahkan kemana roti itu akan dibawa, misalnya ke sarang  semut untuk selanjutnya dikonsumsi bersama-sama. Namun oleh karena ukuran binatang itu  sama, maka tidak ada satu semutpun yang berkuasa mengendalikannya, hingga gerakan itu tidak jelas yang dituju.  
Gambaran tentang demokrasi, saya rasakan mirip dengan semut-semut yang  membawa sepotong roti tersebut. Dalam berdemokrasi, semua rakyat diberi peluang ikut ambil bagian dalam menentukan kebijakan bersama. Saya menyebut mirip, dan bukan sama,  oleh karena antara keduanya masih bisa dibedakan.  Dalam berdemokrasi  terdapat  mekanisme  dalam  mengambil keputusan, yaitu melalui musyawarah atau voting. Dalam musyawarah itu hak-hak  semua  anggota dihargai sama. 
Namun dalam prakteknya,  memang  berdemokrasi selalu saja yang dimenangkan adalah pendapat mayoritas dari partai politik yang ada. Partai mayoritas selalu memenangkan dalam mengambil keputusan. Itulah sebabnya, tatkala mayoritas dianggap belum tentu mendominasi  keputusan strategis, maka dibentuki koalisi antar partai politik. Dalam gambaran seperti itu, sekalipun  keputusan ditempuh dengan cara bermusyawarah, tetapi   toh akhirnya juga mirip semut tatkala  menggotong secuil roti sebagaimana digambarkan di muka.  
Sekumpulan semut yang sama-sama  bekerja, ----bukan bekerja  bersama,  tatkala membawa secuil roti tersebut memang tidak menggunakan musyawarah.  Bagi semua  semut, yang penting  adalah  bekerja untuk menarik makanan itu. Sementara semut menarik ke kanan dan selainnya menarik ke kiri. Sepotong roti yang digotong bersama itu akhirnya bergerak ke arah kekuatan semut yang paling kuat. Umpama  semut-semut itu bermusyawarah,  dan  berhasil  mengikuti saja semut yang paling pintar atau cerdas, maka secuil roti tersebut akan dibawa ke arah sarang,  sesuai petunjuk  semut yang cerdas itu.  Sayangnya tidak terdapat semut cerdas dan apalagi bijak. 
Hidup berdemoikrasi sekalipun  dianggap baik dan menyenangkan banyak orang,   ternyata juga beresiko, yaitu implementasinya  menjadi berat dan memerlukan waktu lama untuk sampai pada tujuan. Umpama dalam berdemokrasi itu, tatkala mengambil keputusan, mereka menyerahkan  kepada ahlinya, maka  dalam menyelesaikan persoalan tidak menyerupai semut  tatkala menggotong secuil roti tersebut. Persoalan ekonomi, maka diserahgkan kepada ahli ekonomi, persoalan kesehatan diserahkan kepada ahli kesehatan dan seterusnya. Wakil-wakil rakyat yang telah dipilih  bertugas  menyampaikan aspirasi rakyat.  Semua eputusan yang bersifat strategis tetap diserahkan kepada ahlinya.  
Apa yang sedang terjadi di negeri ini, ternyata belum menggambarkan keadaan seperti itu.  Rakyat  memilih wakilnya dan bahkan juga pimpinannya. Para wakil rakyat dan bahkan juga pemimpinnya   dipilih  secara langsung. Pilihan itu tidak selalu tepat, sebab dalam berpolitik, pilihan itu tidak selalu dijatuhkan pada mereka yang ahli atau kompeten. Tidak jarang pilihan pemimpin itu jatuh pada  siapa saja yang memiliki uang. Akhirnya  tatkala mengambil  keputusan,  tidak selalu  mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan tidak mustahil diorientasikan untuk  mengembalikan dana yang telah dibayarkan sebelumnya oleh sang pengambil keputusan itu. 
Jika hal itu benar-benar terjadi, maka menjadi wajar jika  bangsa yang besar ini memerlukan waktu yang lebih lama  untuk mencapai tujuannya. Sebab dengan model demokrasi seperti itu, maka jalan yang ditempuh untuk memakmurkan rakyat tidak selalu terarah dan lurus. Hal itu mirip  semut ketika menggotong  secuil  roti dalam cerita di muka. Bahkan cara  kerja semut tersebut, ------bisa jadi,  lebih cepat sampai pada tujuan, karena semut  tidak aneh-aneh, misalnya  cari untungnya sendiri. Hal itu berbeda  dengan demokrasi masyarakat manusia, ada saja pihak-pihak yang  masih harus bernegosiasi, berkalkulasi,  dan bertransaksi, agar bisa  pengembalian  biaya  politik yang telah dibelanjakan sebelumnya.  Sekalipun dianggap baik, demokrasi  tidak selalu mudah  dijalankan,  dan apalagi  orang biasanya lebih nakal  dibanding  semut.  Wallahu a’lam

No comments: